Kultur
maritim Islam Aswaja dan NU adalah tiga entitas dominan membentuk
lahirnya Islam nusantara. Kultur maritim menawarkan nilai-nilai
kosmologis yang pluralistik menjunjung tinggi kejujuran dan keluhuran
budi pekerti, keterbukaan dan kebersamaan. Siapapun dan apapun terbuka
untuk mendarat di seluruh pantai dalam kepulauan nusantara. Islam Aswaja
menawarkan teologi yang moderat menghargai perbedaan, dan menentang
cara-cara kekerasan didalam berdakwah.
NU
adalah sebuah organisasi yang mewadahi umat Islam yang berhaluan
Aswaja, menjunjung tinggi nilai-niali kemanusiaan dan kearifan lokal.
Akumulasi ketiga entitas ini tidak dipisahkan dengan empat pilar bangsa
yang sering dipopulerkan dengan PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
NKRI dan UUD 1945). Bukan kebetulan, riwayat penyusunan dan penentuan
empat pilar ini terlibat sejumlah tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU)
diantara iyalah KH Hasyim Asyari tokoh pendiri NU yang terlibat lansung
didalam perumusan di sekitar PBNU.
Meskipun
secara tidak formal warga Nahdliyin sesungguhnya sudah menampikan corak
Islam Nusantara ini tetapi lebih baik lagi jika lebih diformalkan
dengan cara melahirkan produk-produk nilai-nilai dan norma-norma ke
Islaman yang bercorak Islam Nusantara.
Aswaja dan “PBNU”
Teologi
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang menjadi pijakan komunitas warga
NU (Nahdliyin) memberikan pengaruh dan penguatan empat pilar PBNU. Tanpa
dukungan Aswaja belum tentu PBNU tegak dan kokoh, karena pilar PBNU
menancap di atas Aswaja. Aswaja dikenal sebagai konsep teologi inklusif,
memiliki cara pandang sendiri yang lebih dikenal dengan fikrah
nahdliyyah, yang mengacu kepada prinsip moderat (tawasuthiyyah), toleransi (tasamuhiyyah), reformis (islahiyyah), dinamis (tathawuriyyah), dan metodoligis (manhajiyyah).
Konsep ini menjadi ciri khas Nahdliyin didalam mengukur dan
menyelesaikan setiap persoalan. Konsep-konsep tersebut nantinya bisa
menjadi karakter dan ciri khas Islam Nusantara.
Tradisi
keagamaan NU sesungguhnya sudah lama menampilkan Islam Nusantara. Dari
muktamar ke muktamar, NU selalu mewacanakan konsep Islam yang
berkeIndonesiaan. Produknya antara lain sistem etika dan fikih
kebangsaan (al fikr al wathaniyyah) yang produknya antara lain trilogi ukhuwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan) ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan keislaman).
Konsep trilogi ukhuwah ini menegelamkan tiga konsep kenegaraan dalam fiqih Islam klasik: dar al Islam (Negara Islam), dar al harb (Negara musuh), dar al sulh (Negara non muslim tetapi menjalin hubungan damai).
Empat
pilar PBNU bagi warga NU dianggap manifestasi fikrah Nahdliyyah. Itulah
sebabnya tak seorang pun Nahdliyin menolak pernyataan dari muktamar ke
muktamar. NKRI bentuk final dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Itu juga yang menjadi alasan mengapa wargan NU tidak tertarik menengok
ISIS, Al-Qaeda dan kelompok lain yang mewacanakan konsep kebangsaan dan
kenegaraan lain yang tidak sejalan dengan empat pilar PBNU. Lebih dari
itu PBNU bersama seluruh badan otonomnya mau berjihad untuk
mempertahankan PBNU.
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, NU menempatkan Islam sebagai faktor
sentripetal, yang lebih tertarik menekankan aspek titik temu (principle of identity), bukannya menempatkan Islam sebagai faktor sentrifugal, yang lebih tertarik menekankan aspek perbedaan (principle of negation).
PBNU sering tampil sebagai ‘tempat berteduh’ kelompok minoritas, karena
bagi NU hampir tidak pernah dijumpai kosa kata ‘orang lain’ (minhum/the other).
Dimana ada manusia disitu ada (obyek dakwah) NU. NU dapat membuktikan
universalitas Islam dapat diterapkan tanpa harus menyingkirkan budaya
lokal. NU berkeyakinan Syari’at Islam dapat di implementasikan tanpa
harus menunggu atau melalui institusi formal. NU memiliki wawasan
multikultural, dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi
atau budaya setempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya
stempat yang memiliki hak hidup (cultural right) di republik tercinta ini.
NU
juga tidak pernah berfikir untuk menyeragamkan apalagi menghilangkan
mazhab-mazhab keagamaan yang ada. NU juga tidak pernah berfikir untuk
menyingkirkan budaya dan kearifan lokal, karena NU sangat disemangati
oleh hadis Nabi: Innamal buistu liuttamimakarima al ahklaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan ahklak). Hadis ini menggunakan istilah liutamima (menyempurnakan), tidak menggunakan istilah liyubda-a (membangun yang baru).
Ini
mengisyaratkan bahwa melestarikan tradisi positif yang masih relevan
dapat dibenarkan. NU juga membuka diri dengan perubahan, karena
disemangati dengan sejumlah nash, antara lain dalam hadist (Hikmah atau
kebenaran adalah milik orang beriman, dimanapun engkau temukan ambillah
karena itu miliknya). Kedua hadis tersebut menjadi dasar dari motto NU: al muhafadlatu ala qadilmis shalih wal al ahdlu bil dzadididil aslah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Deaswajanisasi DanEksistensi PBNU
Isu purifikasi menimbulkan fenomena deaswajanisasi didalam masyarakat menarik untuk dicermati. Apakah ini by design atau by nature,
sejumlah pranata sosial-keagamaan tradisional, dalam mana Aswaja
mewujudkan diri sedang mengalami pelemahan. Contohnya acara barzanzi,
tahlilan, peringatan maulid, peringatan isra’ mi’raj, jabat tangan, doa
berjamaah, upacara selamatan khitanan, tawasul, dan ziarah kubur,
semuanya dianggap bid’ah (sesuatu yang tidak pernah dilakukan nabi) oleh
sekelompok orang atau organisasi.
Dalam
era reformasi saat ini, semua teologi dan mazhab bebas untuk hidup di
republik ini, termasuk pengkafiran dan pembid’ahan. Karena itu, jumlah
ormas keagamaan dekade terakhir ini berkembang sedemikian luas.
Disamping Aswaja, ada nomenklatur lain yang muncul dan cenderung
mendapatkan pengakuan luas melalui berbagai media, seperti kelompok
Syi’ah, Wahabiyah, Salafiyah, Ahmadiyah, dan lain sebagainya.
Ormas-ormas keagamaan tidak saja berpusat di Jakarta tetapi ada juga di
luar Jakarta, seperti kelompok Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) yang
berpusat di Solo dan Wahdah Islamiyah (WI) berpusat di Makassar. Belum
lagi ormas-ormas lain yang menggunakan nomenklatur tarekat, majelis
taklim, tahfidz Al- Quran. Bahkan ada lagi ormas yang tidak terdaftar,
tanpa nama, tanpa struktur, tetapi kegiatannya intensif di dalam
masyarakat.
Deprifatisasi
nilai dan norma Aswaja sama artinya deprifatisasi nilai-nilai pilar
PBNU. Jika pada suatu saat teologi Aswaja melemah lalu digantikan
teologi lain maka tidak mustahil muncul larangan berhormat kepada
bendera merah putih, tidak boleh lagi memeringati harlah kemerdekaan RI,
dan tidak boleh berziarah kubur ke makam pahlawan karena dianggap
bid’ah, tidak boleh menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu wajib lainnya,
khususnya lagu “Padamu negeri kami mengabdi”, tidak boleh memasang
simbol Garuda dan kepala Negara di ruangan kantor karena dianggap
musyrik. Seperti apa wajah PBNU tanpa Aswaja? Perlu dijawab dalam
Muktamar NU ke 33 di Jombang, Jawa Timur nanti.Wallahu A’lam
Sumber : http://islamnusantara.web.id/menggagas-islam-nusantara
0 comments :
Post a Comment