Berita Terbaru
Loading Bos.....
Tuesday, July 14, 2015

Menggagas Islam Nusantara

1:38 PM

Menggagas Islam Nusantara




Kultur maritim Islam Aswaja dan NU adalah tiga entitas dominan membentuk lahirnya Islam nusantara. Kultur maritim menawarkan nilai-nilai kosmologis yang pluralistik menjunjung tinggi kejujuran dan keluhuran budi pekerti, keterbukaan dan kebersamaan. Siapapun dan apapun terbuka untuk mendarat di seluruh pantai dalam kepulauan nusantara. Islam Aswaja menawarkan teologi yang moderat menghargai perbedaan, dan menentang cara-cara kekerasan didalam berdakwah.

NU adalah sebuah organisasi yang mewadahi umat Islam yang berhaluan Aswaja, menjunjung tinggi nilai-niali kemanusiaan dan kearifan lokal. Akumulasi ketiga entitas ini tidak dipisahkan dengan empat pilar bangsa yang sering dipopulerkan dengan PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945). Bukan kebetulan, riwayat penyusunan dan penentuan empat pilar ini terlibat sejumlah tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU) diantara iyalah KH Hasyim Asyari tokoh pendiri NU yang terlibat lansung didalam perumusan di sekitar PBNU.

Meskipun secara tidak formal warga Nahdliyin sesungguhnya sudah menampikan corak Islam Nusantara ini tetapi lebih baik lagi jika lebih diformalkan dengan cara melahirkan produk-produk nilai-nilai dan norma-norma ke Islaman yang bercorak Islam Nusantara.
Aswaja dan “PBNU”
Teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang menjadi pijakan komunitas warga NU (Nahdliyin) memberikan pengaruh dan penguatan empat pilar PBNU. Tanpa dukungan Aswaja belum tentu PBNU tegak dan kokoh, karena pilar PBNU menancap di atas Aswaja. Aswaja dikenal sebagai konsep teologi inklusif, memiliki cara pandang sendiri yang lebih dikenal dengan fikrah nahdliyyah, yang mengacu kepada prinsip moderat (tawasuthiyyah), toleransi (tasamuhiyyah), reformis (islahiyyah), dinamis (tathawuriyyah), dan metodoligis (manhajiyyah). Konsep ini menjadi ciri khas Nahdliyin didalam mengukur dan menyelesaikan setiap persoalan. Konsep-konsep tersebut nantinya bisa menjadi karakter dan ciri khas Islam Nusantara.

Tradisi keagamaan NU sesungguhnya sudah lama menampilkan Islam Nusantara. Dari muktamar ke muktamar, NU selalu mewacanakan konsep Islam yang berkeIndonesiaan. Produknya antara lain sistem etika dan fikih kebangsaan (al fikr al wathaniyyah) yang produknya antara lain trilogi ukhuwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan) ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan keislaman).

Konsep trilogi ukhuwah ini menegelamkan tiga konsep kenegaraan dalam fiqih Islam klasik: dar al Islam (Negara Islam), dar al harb (Negara musuh), dar al sulh (Negara non muslim tetapi menjalin hubungan damai).

Empat pilar PBNU bagi warga NU dianggap manifestasi fikrah Nahdliyyah. Itulah sebabnya tak seorang pun Nahdliyin menolak pernyataan dari muktamar ke muktamar. NKRI bentuk final dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Itu juga yang menjadi alasan mengapa wargan NU tidak tertarik menengok ISIS, Al-Qaeda dan kelompok lain yang mewacanakan konsep kebangsaan dan kenegaraan lain yang tidak sejalan dengan empat pilar PBNU. Lebih dari itu PBNU bersama seluruh badan otonomnya mau berjihad untuk mempertahankan PBNU.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, NU menempatkan Islam sebagai faktor sentripetal, yang lebih tertarik menekankan aspek titik temu (principle of identity), bukannya menempatkan Islam sebagai faktor sentrifugal, yang lebih tertarik menekankan aspek perbedaan (principle of negation). PBNU sering tampil sebagai ‘tempat berteduh’ kelompok minoritas, karena bagi NU hampir tidak pernah dijumpai kosa kata ‘orang lain’ (minhum/the other). Dimana ada manusia disitu ada (obyek dakwah) NU. NU dapat membuktikan universalitas Islam dapat diterapkan tanpa harus menyingkirkan budaya lokal. NU berkeyakinan Syari’at Islam dapat di implementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU memiliki wawasan multikultural, dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya stempat yang memiliki hak hidup (cultural right) di republik tercinta ini.

NU juga tidak pernah berfikir untuk menyeragamkan apalagi menghilangkan mazhab-mazhab keagamaan yang ada. NU juga tidak pernah berfikir untuk menyingkirkan budaya dan kearifan lokal, karena NU sangat disemangati oleh hadis Nabi: Innamal buistu liuttamimakarima al ahklaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan ahklak). Hadis ini menggunakan istilah liutamima (menyempurnakan), tidak menggunakan istilah liyubda-a (membangun yang baru).

Ini mengisyaratkan bahwa melestarikan tradisi positif yang masih relevan dapat dibenarkan. NU juga membuka diri dengan perubahan, karena disemangati dengan sejumlah nash, antara lain dalam hadist (Hikmah atau kebenaran adalah milik orang beriman, dimanapun engkau temukan ambillah karena itu miliknya). Kedua hadis tersebut menjadi dasar dari motto NU: al muhafadlatu ala qadilmis shalih wal al ahdlu bil dzadididil aslah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Deaswajanisasi DanEksistensi PBNU

Isu purifikasi menimbulkan fenomena deaswajanisasi didalam masyarakat menarik untuk dicermati. Apakah ini by design atau by nature, sejumlah pranata sosial-keagamaan tradisional, dalam mana Aswaja mewujudkan diri sedang mengalami pelemahan. Contohnya acara barzanzi, tahlilan, peringatan maulid, peringatan isra’ mi’raj, jabat tangan, doa berjamaah, upacara selamatan khitanan, tawasul, dan ziarah kubur, semuanya dianggap bid’ah (sesuatu yang tidak pernah dilakukan nabi) oleh sekelompok orang atau organisasi.

Dalam era reformasi saat ini, semua teologi dan mazhab bebas untuk hidup di republik ini, termasuk pengkafiran dan pembid’ahan. Karena itu, jumlah ormas keagamaan dekade terakhir ini berkembang sedemikian luas. Disamping Aswaja, ada nomenklatur lain yang muncul dan cenderung mendapatkan pengakuan luas melalui berbagai media, seperti kelompok Syi’ah, Wahabiyah, Salafiyah, Ahmadiyah, dan lain sebagainya. Ormas-ormas keagamaan tidak saja berpusat di Jakarta tetapi ada juga di luar Jakarta, seperti kelompok Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) yang berpusat di Solo dan Wahdah Islamiyah (WI) berpusat di Makassar. Belum lagi ormas-ormas lain yang menggunakan nomenklatur tarekat, majelis taklim, tahfidz Al- Quran. Bahkan ada lagi ormas yang tidak terdaftar, tanpa nama, tanpa struktur, tetapi kegiatannya intensif di dalam masyarakat.

Deprifatisasi nilai dan norma Aswaja sama artinya deprifatisasi nilai-nilai pilar PBNU. Jika pada suatu saat teologi Aswaja melemah lalu digantikan teologi lain maka tidak mustahil muncul larangan berhormat kepada bendera merah putih, tidak boleh lagi memeringati harlah kemerdekaan RI, dan tidak boleh berziarah kubur ke makam pahlawan karena dianggap bid’ah, tidak boleh menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu wajib lainnya, khususnya lagu “Padamu negeri kami mengabdi”, tidak boleh memasang simbol Garuda dan kepala Negara di ruangan kantor karena dianggap musyrik. Seperti apa wajah PBNU tanpa Aswaja? Perlu dijawab dalam Muktamar NU ke 33 di Jombang, Jawa Timur nanti.Wallahu A’lam


Sumber : http://islamnusantara.web.id/menggagas-islam-nusantara

0 comments :

Post a Comment

 
Toggle Footer