NU Dan HTI Saudara Kembar
Negara
Kesatuan Republik Indonesia menjadi salah target kelompok Hizbut Tahrir
Indonesia. Hizbut Tahrir Indonesia secara historis mulai buming dan
diperhitungkan kelompok-kelompok lain terhitung sejak 1980-an. Di
Indonesia, tidak saja dipenuhi oleh partai-partai tetapi organisasi
lokal dan transnasional tumbuh subur, bersaing dan saling memasang
strategi jitu mencari dukungan dan memasarkan ideologinya.
Penulis
tergelitik dengan sebuah istilah “saudara kembar” yang dialamatkan
kepada Nahdlatul Ulama. Istilah tersebut secara tidak langsung akan
mengatakan bahwasanya NU dan HTI tumbuh dalam satu rahim dan hasil dari
‘ruh’ sosok Syaikh Yusuf al-Nabhani. Mengapa? Nahdlatul Ulama melalui
sosok Syaikh Hasyim Asy’ari pernah belajar kepada tokoh sunni terpandang
yakni Syaikh Yusuf al-Nabhani, begitu pula dengan Hizbut Tahrir
Indonesia yang didirikan oleh sosok Taqiyuddin al-Nabhani merupakan cucu
dari Syaikh Yusuf al-Nabhani.
Nahdlatul
Ulama merupakan organisasi yang tumbuh dari rahim Indonesia, sedangkan
Hizbut Tahrir Indonesia – dalam konteks keindonesiaan – merupakan
organisasi transnasional yang dapat mengancam eksistensi NKRI.
Tampaknya, sosok Syaikh Yusuf al-Nabhani menjadi jembatan kelompok
Hizbut Tahrir Indonesia untuk menarik simpati masyarakat, hal ini
berbeda dengan kelompok Wahabi, dimana penulis pernah berkecimpung dalam
gerakan Wahabiah di Makassar sebelum akhirnya penulis memutuskan untuk
ke organisasi Nahdlatul Ulama.
Di dalam teoriFaucaultjika ada diskursus resmi maka akan ada diskursus alternatif.Kedua bentuk tersebut yaitu: within the dominan discourse dan outside the dominan discourse.
Dari keduanya akan tampak, bahwasanya NU menerapkan dan menjunjung
tinggi nilai-nilai keislaman dengan menyesuaikan wilayah dan kondisi
Indonesia, sedangkan Hizbut Tahrir Indonesia ingin menerapkan negara
Islam dengan solusi alternatifnya khilafah Islamiyah.
Dalam perspektif asbabun nuzul dan
teori sosio-historis Fazlur Rahman, Posisi kedua organisasi di atas
tentunya dalam menyikapi ayat-ayat al-Qur’an dengan sikap yang berbeda.
Kecenderungan NU di dalam menerapkan ayat-ayat
al-Qur’anmengkontekstualisasikan dengan keadaan Indonesia, artinya cara
kerja teks-konteks-kontekstualisasi menjadi pertimbangan serius dalam
NU.Sedangkan bagi Hizbut Tahrir memiliki kecenderungan lepas dari
konteks sebuah ayat atau jumping to conclution. Alternatif khilafah Islamiyah
yang menjadi wacana penting bagi Hizbut Tahrir tidak bisa ditawar lagi,
karena bagi mereka hal itu sebuah ketetapan dan janji Tuhan.
Penerapan
syari’ah secara totalitas dan legal formal sudah harga mati, hal ini
bisa kita baca melalui tulisan juru bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto
yang berjudul Penerapan Syari’ah Islam di Indonesia: Tantangan dan Agenda.
Menurut Ismail Yusanto bahwasanya persoalan Indonesia ada pada desain
awal negara ini yang memang fokus pada ideologi sekulerisme, bahkan
asumsinya syariat Islam telah terjadi sebuah pendistorsian atau reduksi
otoritas yang sedemikian parah.
Dengan
pemikiran tersebut, disadari atau tidak, sepertinya Ismail Yusanto
tidak memahami dengan benar historisitas dan religiusitas yang terjadi
di Indonesia. Secara tegas penulis mengatakan, jika ditinjau dari konsepsi Hukum Islam maka Indonesia ditinjau dari perspektif Islam mengikuti aliran simbiotik.
Multikulturalisme yang ada di Indonesia, menjadi sebuah keniscayaan yang harus kita pahami dan yakini. Ternyata,hal tersebut menjadi kendala tersendiri buat pengembangan dakwah HTI. Berbeda dengan NU, jika kita lihat pola berdakwahnya NU
bersifat inklusif. Misalnya, pola dialog, adaptasi serta asimilasi
budaya terus menjadi ciri khas organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan
lainnya. Dan keniscayaan diatas tidak
menjadi kendala, namun kendalanya adalah kelompok-kelompok
transnasional yang radikal dan menganggu eksistensi NKRI.
Sebuah
persamaan dalam sebuah organisasi, antara NU dan HTI tidak bisa kita
nafikan, dan logika tersebut selalu bisa kita terapkan ke semua
organisasi di Indonesia. Tetapi dalam konteks historisnya, apa yang
selalu ditulis oleh kelompok HTI untuk menisbatkan pendapatnya atau
menyamakan organisasinya dengan HTI, merupakan strategi jitu untuk
meraup suara dan dukungan masyarakat.
Masyarakat
awam yang tidak tahu menahu, akan berpikiran dan berasumsi bahwakedua
organisasi sama, padahal kalau kita jeli membaca kitab-kitab primer HTI
akan terdapat perbedaan jauh dalam menerapkan dan merealisasikan syariah
Islam. Hal ini terbukti dengan suara lantang kelompok HTI menyatakan
bahwa KH Wahab Hasbullah sebagai inspirator khilafah, logika ini dengan
mudah bisa kita patahkan. Tetapi bagi orang awam akan mengatakan bahwa
NU menyetujui gerakan khilafahisme ala HTI, padahal sejatinya tidak.
Menarik untuk mencermati kalimat “yaquulu min khairi qauli al-Bariyyah (mereka berkata dengan sebaik-baik firman Allah).
Indikasi logis dari kalimat tersebut adalah mereka-mereka yang memiliki
kecenderungan mengkafirkan atau mengatakan negeri kufur dan tidak
menerapkan syariat Islam masuk ke dalam kategori kalimat tersebut.
Kefasihan dalam berargumen untuk meligitmasi dalil-dalilnya sudah tidak
bisa dihindarkan saat ini.
Maraknya fenomena ini bisa kita lihat dari asumsi yang dinyatakan oleh Khalil Abdul Karim di dalam kitabnyaLi Tathbiq al-Syari’ah la li al-Hukm yang menyoroti teori hakimiyah Sayyid Qutub. Ada dua asumsi yang dibuat olehnya, pertama: teori hakimiyah yang dibumingkan oleh Sayyid Quthb. dimana teori tersebut diadopsi dari pemikiran Abu al-A’la al-Maududi dan kedua: rekaman sejarah atas hukuman mati Sayyid Quthb.
Dengan
melihat asumsi diatas, kalau kita kontekstualisasikan ke dalam kelompok
Hizbut Tahrir Indonesia, maka logika “saudara kembar” yang dialamatkan
kepada NU merupakan kesimpulan gegabah. Mengapa? karena HTI sebagaimana
di dalam kitab-kitabnya secara tidak langsung mengatakan negara
Indonesia termasuk negara yang menganut sistem demokrasi, demokrasi
adalah sistem kufur. Dengan begitu pula, maka tidak menutup kemungkinan
mereka akan mengatakan bahwa negara Indonesia negara ‘kufur’.
Menarik untuk mengutip pendapat Imam Ghazali dalam kitabnyaal-Iqtishad fi al-I’tiqad, dimana ia mengatakan
bahwa kajian tentang mamah– dalam hal ini masuk term khilafiah, karena
bagi HTI khilafah dan imamah sama - bukan termasuk hal yang penting. Hal
itu juga bukanlah bagian kajian ilmu logika (rasionalitas), tetapi ia
termasuk bagian dari Ilmu Fikih. Lebih lanjut, bahwa masalah imamah dapat berpotensi melahirkan sikap fanatisme. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah
lebih selamat dari pada yang mencoba menyelaminya, meskipun ia
menyelaminya dengan kaidah yang benar, dan apalagi ketika salah dalam
menyelaminya.Wallahu a’lam bi al-Shawa.
*Penulis adalah santri yang juga penulis lepas di beberapa media Nasional. Tinggal di Jakarta.
0 comments :
Post a Comment